Sabtu, 17 Mei 2008

TOKSIN PADA CORYNEBACTERIUM DIPHTHERIAE

BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Toksin adalah segala bentuk zat yang memiliki efek destruktif bagi fungsi sel dan struktur sel tubuh. Adapun beberapa toksin yang bersifat fatal dan beberapa bersifat lebih ringan. Toksin didefinisikan sebagai bahan kimia atau unsur berbahaya yang dihasilkan secara semuala. Jadi atau bukan semula jadi, bahan-bahan yang tidak boleh digunakan dan bahan yang dibuang dari tubuh kita.
Toksin merupakan racun yang dapat mengalahkan berbagai penyakit dan gangguan-gangguan pada kesehatan seperti kanker, penyakit pada perut dan lain-lain. Toksin berada di mana-mana, badan kita dipenuhi dengan toksin dan diserap masuk ke dalam tubuh melalui udara yang terhirup air yang diminum, makanan yang dikonsumsi. Di dalam rumahpun toksin dapat tersebar melalui asap rokok, alat penyegar udara, dan lainnya. Di luar rumah, toksin dibawa oleh asap kendaraan, asap kilang, udara yang tercemar serta bahan kimia pertanian.
Adapun salah satu dari bakteri yang dapat menghasilkan toksin yaitu corynebacterium diphteri. Corynobacterium diphtheria ini dapat menyebabkan penyakit difteri. Distribusi penyakit tetanus diseluruh dunia terutama pada Negara-negara miskin yang penduduknya tinggal pada tempat pemukiman yang rapat, hygiene dan sanitasiny jelek dan fasilitas kesehatan jelek dan kurang. Goongan umur yang paling sering terkena adalah 2-010 tahun jarang pada umur dibawah 6 bulan akibat imunisasi pasif dari ibu melalui plasenta juga jarang pada orang dewasa ditas 15 tahun. Penulatan bisa dari kontak dengan pasien diferi / carrier difteroi. Basil ditularkan lewat kontak langsung seperti batuk, bersisi, berbicara, dan kontak tidak langsunga lewat dahak, bauju / buku atau mainan yang terkontaminasi karena basil ini cukup resisten dnegan udara, panaas, dingin dan kering. Penularannya berbahaya karena tidak dikenal dan bersifat silent.
Sejalan dengan perkembangan kedokteran untuk mengatsi penyakit ini dibuatkan vaksin anti difteri. Dimana vaksin ini akan meningkatkan antibody tubuh. Difteri ini adalah penyakit yang sangat menular yang umumnya menyerang daerah tenggorokan. Setelah inkubasi 2-6 hari dengan peradangan pada tenggorokan gehala lain yang ditimbulkan yaitu tubuh melemah serta demam. Pada saat telah terbentuk selaput lemak di wilayah tenggorokan maka menyebabkan penderuita sulit bernafas dan menelan makanan, sehingga umumnya terpaksa dilakukan tracheostomy pembuatan lubang di bagian tenggorokan agar penderita lebih mudah bernafas dan dapat dipasang selang makanan. Untuk itu kita harus waspada dan melakukan imunisasi rutin dan lengkap. Toksin corynobacterium ini mempunyai dampak negatif bagi manusia yaitu menyebabkan penyakit DIFTERI sedangkan segi positifnya sangat berguna bagi ilmu kedokteran untuk pengobatan penyakit difteri dengan dilakukannya penelitian pembuatan vaksin untuk imunisasi

2. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini :
1. Untuk mengetahui toksin corynobacterium diphtheria
2. Untuk mengetahui dan memahami patogenesis dan patofisologi dari toksin corynobacterium diphtheria
3. Untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan dari penyakit difteri
4. Untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen Mikrobiologi Semester III.

3. Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dnegan toksin corynobacterium diphtheria? Segi positif dan segi negatifnya
Apa pengertian dari difteri?
Bagaiman pengobatan dan pencegahan dari penyakit difteri?




BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian
Difteri toksoid adalah toksin dari corynobakterium diptateriae yang toksitasnya sudah dilemahkan toksoid ini sebagai antigen untuk meningkatkan anti bodi (kekebalan tubuh) terhadap penyakit difteri disebut pula antibody humoral.
Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan difteri.Difteri adalah suatu penyakit infeksi mudah menular dan menyerang saluran napas bagian atas berupa pseudo membrane dan ekso toksin penularan melalui udara dan makanan Terdapat 3 jenis basil yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Basil dapat membentuk :
Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan meliputi daerah yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekotik dan basil.Eksotoksin yang snagat gnas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas teritama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minuman Lethal dosea (MLD) toksin ini ialah 0,02 me Bakteri ini dikenal juga sebagai basillus Klebs-Löffler karena ditemukan pada 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915). C. diphtheriae adalah makhluk anaerobik fakultatif dan Gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, tak bergerak, dan berbentuk batang 1 hingga 8 µm dan lebar 0,3 hingga 0,8 µm. Pada kultur, kelompok bakteri ini akan berhubungan satu sama lain dan membentuk seperti huruf Tionghoa. Gejala utama dari penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran yang merupakan hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran sendiri merupakan lapisan tipis berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa hidung, mulut sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran, kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf. Bakteri gram-positif adalah bakteri yang mempertahankan zat warna metil ungu sewaktu proses pewarnaan Gram. Bakteri jenis ini akan berwarna biru atau ungu di bawah mikroskop, sedangkan bakteri gram-negatif akan berwarna merah atau merah muda. Perbedaan klasifikasi antara kedua jenis bakteri ini terutama didasarkan pada perbedaan struktur dinding sel bakteri.
Banyak strain C. diphtheriae yang memproduksi racun difteri, sebuah eksotoksin protein, dengan berat molekul 62 kilodalton. Ketidakaktifan racun dengan serum antiracun merupakan dasar dalam vaksinasi antidifteri. Tdiak semua strain berbahaya. Produksi racun akan terjadi bila bakteri dinfeksi oleh sebuah bakteriofaga.
Terdapat tiga subspesies yang dikenal yakni: C. diphtheriae mitis, C. diphtheriae intermedius, dan C. diphtheriae gravis. Ketiganya berbeda pada kemampuan untuk mengolah zat gizi tertentu. Semuanya dapat menjadi berbahaya yang menyebabkan difteri atau tidak berbahaya sama sekali pada manusia.
Bakteri ini peka pada sebagian besar antibiotika, seperti penisilin, ampisilin, sefalosporin, kuinolon, kloramfenikol, tetrasiklin, sefuroksim dan trimetrofim
· .
Bentuk dari corynebacterioum ini seperti palu (mengalami pembesaran pada salah satu ujung) diameter 0,1-1 mm dan panjang beberapa mm. basil ini hanya timbul pada medium tertentu yaitu : medium loffler, medium telluritye, ferment glucose. Pada medium loffler ; bakteri tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni berwarna abu-abu. Apda medium tellurite basil ini tumbuh lebih lambat membentuk koloni-koloni, berwarna abu-abu kehitaman, menurut bentuk besar dan warna koloni yang terbentuk dapat dibedakan 3 jenis basil.
a. Gravis : koloninya besar, kasar irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis entrosit.
b. Mitis : koloninya kecil, halus, warna hutan konveks dan dapat menimbulkan hemolisis entrosit.
c. Intermediate : koloninya kecil, halus, punya bentuk hitam ditengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibanding mitis. Karakter jenis gravis dapat memfermentasikan tepung kanji dan glukogen sedangkan mitis dan intermediate tidak. Namun semua dapat memproduksi eksotoksin tapi virulensinya beda. Yang tidak virulen adalah grup mitis tapi kadang-kadang ada bentuk gravis / intermediate yang tidak virulen pada manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah non toksigenik. Setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium dikarenakan pengaruh bakteriojag.
Untuk mmebedakan jenis virulen dan non virulennya dapat dilakukan pemeriksaan :
Uji prrespipitasi agar gel (elektroforesis)
Inokulasi intradeunnal terhadap guinea pig.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri seperti hoffman, C Xerosis dan lain-lain.
.
Difteri adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan, terutama pada balita. Eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri penyebabnya yaitu Corynebacterium diphtheriae, dapat membahayakan jiwa anak bahkan menyehabkan kematian. Angka kesakitan dan kematian pada anak karena difteri masih tinggi, sehingga penyakit tersebut sampai saat ini merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Intervensi pencegahannya adalah dengan imunisasi DPT pads bayi dan DT pada anak.. Struktur toksin difteri telah diteliti.
Dalam kaitannya dengan pengembangan vaksin difteri, perlu dilakukan studi mengenai aktivitas biologis dari eksotoksin difteri dengan menggunakan antibodi mono-klonal. Untuk mendapatkan basil optimal dari antibodi monoklonal tersebut telah dilakukan penelitian dengan mencit strain C57 BL/6Cr S1c, C3H/He S1c, A/J dan Ba1b/c sebagai hewan coba. Toksoid difteri diimunisasikan kepada mencit, kemudian dilakukan fusi dari sel-sel limfa terhadap sel mieloma (X63­Ag8.6.5.3) dengan bantuan PEG 4000. Sumur biakan sel hibrid diperiksa dengan ELISA. Sel hibrid yang monoklon diperoleh dengan cara kloning dan rekloning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mencit strain C57 B1/6Cr S1c dan C3 H/He S1c tidak responsif terhadap toksoid difteri. Dengan strain Balb/c dan A/J dapat diproduksi sel hibrid monoklon yang positifterhadap toksoid difteri. Strain A/J memberikan hasil lebih baik dibandingkan Balb/c. Yaitu 15,7% sel hibrid positif dibandingkan dengan 2,5% pada strain Ba1b/c. Produksi cairan ascites sedang dikerjakan untuk memperoleh antibodi yang mono-klon. Selanjutnya dapat dibandingkan kualitas dan kuantitasnya.
Vaksin adalah suatu obat yang diberikan untuk membantu mencegah suatu penyakit. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak. Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.
GEJALA PENYAKIT :
Setelah terinfeksi bacteri ini 1-4 hari gejala mulai timbul. Diawali dengan myeri tenggorokan yang ringan dan nyeri ketika menelan. selanjutnya si penderita (anak) mengalami demam ringan,denyut jantung cepat,di sertai muntah,menggigil dan sakit kepala.
Hal ini mungkin di karenakan telah terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di leher. Jika bacteri menyerang sampai ke hidung,hidung akan mengalami rhinorhea (meler) biasanya hanya satu dari sakah satu lubang hidungnya.Peradangan ini bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan tenggorokan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bacteri dapat membentuk suatu pseudomembran ( lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati dan bahan lainya ) di dekat amandel dan pada bagian tenggorokan yang lain.
Pseudomembran ini tidak mudah pecah,robek dan berwarna abu-abu.Pseudomembran jika di lepaskan secara paksa,maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah atau terluka.
Pseudomembran dapat menyebabkan penyempitan saluran udara dan menyumbat saluran udara sehingga penderita difteri mengalami apneu ( sesak napas ) dan kulit terlihat pucat dan berwarna biru hal ini di akibatkan pasokan oksigen dalam tubuh kurang.Pada hari ke 10-14,bacteri difteri melepaskan toksin melalui peredaran darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh termasuk saraf dan jantung,sehingga Badan terasa lemah tidak bisa di gerakkan ( terutama lengan dan tungkai ),denyut jantung cepat, ,kesulitan menelan pada tenggorokan ( toksin menyerang saraf tenggorokan )akan tetapi hal ini bisa berlangsung dari minggu pertama hingga ke 6.
KOMPLIKASI :
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung,ginjal,system saraf ataupun organ lainnya :
1. Myokarditis (peradangan dinding otot jantung ) bisa menyebabkan gagal jantung.
2. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi
3. Dapat menyebabkan kelumpuhan jika terjadi kerusakan saraf yang berat
4. Kerusakan ginjal.
DIAGNOSIS :
Pengujian secara fisik boleh mengungkapkan karakteristik selaput ( pseudomembrane) di (dalam) kerongkongan, memperbesar kelenjar getah bening, dan bengkak menyangkut pangkal tenggorokan atau leher. Jika dipteri dicurigai, perawatan harus dimulai dengan seketika,
Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:
· gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi Corynebacterium diphtheriae.
· Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat di lakuka dengan electrocardiogram (ECG).
PENGOBATAN ( TREATMENT ) :
Pengobatan terhadap pasien dipteri.dapat menggunakan obat Penolak dipteri (antitoksin corynebacterium ) bisa diberi sebagai suatu intramuscular atau suntikan kedalam pembuluh darah secepat hasil diagnosa dicurigai. Infeksi/Peradangan kemudian adalah bermufakat dengan zat pembunuh kuman, seperti penisilin atau erythromycin.
Orang-Orang dengan dipteri boleh memerlukan opname untuk perawatan yang yang mendukung dan sepanjang administrasi penolak bisa. Penyisipan dari suatu endotracheal tabung dan/atau kepindahan menyangkut selaput halangan mungkin (adalah) diperlukan jika trayek udara penghalang ada. Cairan kedalam pembuluh darah, oksigen, tempat tidur/alas istirahat, dan berhubungan dengan jantung yang monitoring ( dalam kaitan dengan kemungkinan myocarditis) pada umumnya ditandai.Suntikan serum tambahan atau Pengebalan/Imuniasi untuk semua kontak menyangkut orang yang terkena infeksi/tersebar, mencakup pelayanan kesehatan personil, harus diberi. Individu menemukan untuk;menjadi pengangkut dipteri diperlakukan dengan zat pembunuh kuman juga.
Imunitas bersifat melindungi bertahan/berlangsung hanya 10 tahun dari waktu vaksinasi, maka adalah penting bagi orang dewasa untuk mendapat/kan suatu pendorong tetanus-diphtheria ( Td) vaksin tiap-tiap 10 tahun.HARAPAN :
Angka kematian adalah 10%. Kesembuhan dari penyakit lambat; oleh karena itu, aktivitas harus dilanjutkan pelan-pelan.dan anak harus banyak istirahat tidak boleh banyak gerak karena bisa melukai jantung yang meradang.

PENCEGAHAN :
Dalam pencegahan difteri ini dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi rutin pada anak-anak (DPT) dan Booster setelah dewasa (DT).Dan semua orang yang berhubungan dengan penderita difteri termasuk perawat atau pegawai rumah sakit harus menjalani apus tenggorokan.Dan di berikan antibiotic selama 7 hari.
Jika belum pernah mendapatkan vaksinasi atau belum mendapatkan booster dalam 5 tahun terakhir, maka diberikan dosis vaksinasi atau dosis booster.Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakan ulang pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster setiap 10 tahun.

Vaksin DT adalah vaksin yang mengandung toksoid Difteri dan Tetanus yang telah dimurnikan yang teradsorbsi ke dalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Potensi komponen vaksin per dosis sedikitnya 30 IU (International Unit) untuk potensi toksoid Difteri dan sedikitnya 40 IU untuk potensi toksoid Tetanus.

Indikasi
Untuk Imunisasi secara simultan terhadap difteri dan tetanus
Komposisi
Tiap ml mengandung : Toksoid difteri yang dimurnikan 40 Lf.Toksoid tetanus yang dimurnikan 15 Lf.Aluminium fosfat 3 mgThimerosal 0,1 mg

Dosis dan Cara Pemberian
Vaksin harus dikocok dulu sebelum digunakan untuk menghomogenkan suspensi. Vaksin harus disuntikkan secara intramuskuler atau subkutan yang dalam. Jarum suntik dan syringe yang steril harus digunakan pada setiap penyuntikkan. Vaksin DT dianjurkan untuk anak usia di bawah 8 tahun. Untuk individu usia 8 tahun atau lebih dianjurkan imunisasi dengan vaksin jerap Td.
Vaksin DT lebih dianjurkan untuk diberikan pada usia anak-anak daripada vaksin DTP jika terjadi kontraindikasi terhadap komponen pertussis. Untuk anak-anak sedikitnya 3 kali penyuntikan secara intramuskuler dengan dosis 0,5 ml dengan interval 4 minggu. Vaksin DT dapat diberikan secara bersamaan dengan vaksin BCG, Campak, Rubella, Mumps, Polio (OPV dan IPV), Hepatitis B, Hib. dan Yellow Fever.

Vaksin DTP Deskripsi
DPT
Merupakan vbaksin untuk penyakit difteri, peruses dan tetanus, diberikan sebanyak 6 kali yaitu pada saat si kecil berusia 2,4, 6, 18 bulan serta 5 dan 12 tahun.

Vaksin Jerap DTP adalah vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan tetanus yang dimurnikan, serta bakteri pertusis yang telah diinaktivasi yang teradsorbsi ke dalam 3 mg / ml Aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Potensi vaksin per dosis tunggal sedikitnya 4 IU pertussis, 30 IU difteri dan 60 IU tetanus.

Indikasi
Untuk Imunisasi secara simultan terhadap difteri, tetanus dan batuk rejan.

Komposisi
Tiap ml mengandung : Toksoid difteri yang dimurnikan 40 LfToksoid tetanus yang dimurnikan 15 LfB, pertussis yang diinaktivasi 24 OUAluminium fosfat 3 mgThimerosal 0,1 mg



Dosis dan Cara Pemberian
Vaksin harus dikocok dulu untuk menghomogenkan suspensi. Vaksin harus disuntikkan secara intramuskuler atau secara subkutan yang dalam. Bagian anterolateral paha atas merupakan bagian yang direkomendasikan untuk tempat penyuntikkan. (Penyuntikan di bagian pantat pada anak-anak tidak direkomendasikan karena dapat mencederai syaraf pinggul). Tidak boleh disuntikkan pada kulit karena dapat menimbulkan reaksi lokal. Satu dosis adalah 0,5 ml. Pada setiap penyuntikan harus digunakan jarum suntik dan syringe yang steril. Di negara-negara dimana pertussis merupakan ancaman bagi bayi muda, imunisasi DTP harus dimulai sesegera mungkin dengan dosis pertama diberikan pada usia 6 minggu dan 2 dosis berikutnya diberikan dengan interval masing-masing 4 minggu. Vaksin DTP dapat diberikan secara aman dan efektif pada waktu yang bersamaan dengan vaksinasi BCG, Campak, Polio (OPV dan IPV), Hepatitis B, Hib. dan vaksin Yellow Fever.

Efek Samping
Terjadinya gejala-gejala yang bersifat sementara seperti lemas, demam, kemerahan pada tempat suntikan. Kadang-kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi, iritabilitas, dan meracau yang biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi. Menurut dugaan komplikasi neurologis yang disebabkan oleh komponen pertusis sangat jarang terjadi, observasi yang telah dilakukan menunjukkan gejala ini jarang terjadi jika dibandingkan dengan gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh imunisasi DTP.

Kontraindikasi
Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan suntikan pertama DTP. Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala-gejala serius keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi dari komponen pertussis. Imunisasi DTP kedua tidak boleh diberikan kepada anak yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis pertama DTP. Komponen pertussis harus dihindarkan, dan hanya dengan diberi DT untuk meneruskan imunisasi ini. Untuk individu penderita virus human immunodefficiency (HIV) baik dengan gejala maupun tanpa gejala harus diberi imunisasi DTP sesuai dengan standar jadual tertentu.

Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. BCG ulangan tidak dianjurkan karena keberhasilannya diragukan.
Vaksin disuntikkan secara intrakutan pada lengan atas, untuk bayi berumur kurang dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,05 mL dan untuk anak berumur lebih dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,1 mL.
Vaksin ini mengandung bakteri Bacillus Calmette-Guerrin hidup yang dilemahkan, sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/dosis. Kontraindikasi untuk vaksinasi BCG adalah penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita leukemia, penderita yang menjalani pengobatan steroid jangka panjang, penderita infeksi HIV).
Reaksi yang mungkin terjadi:
1. Reaksi lokal : 1-2 minggu setelah penyuntikan, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan dan benjolan kecil yang teraba keras. Kemudian benjolan ini berubah menjadi pustula (gelembung berisi nanah), lalu pecah dan membentuk luka terbuka (ulkus). Luka ini akhirnya sembuh secara spontan dalam waktu 8-12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut.
2. Reaksi regional : pembesaran kelenjar getah bening ketiak atau leher, tanpa disertai nyeri tekan maupun demam, yang akan menghilang dalam waktu 3-6 bulan.

Komplikasi yang mungkin timbul adalah :
· Pembentukan abses (penimbunan nanah) di tempat penyuntikan karena penyuntikan yang terlalu dalam. Abses ini akan menghilang secara spontan. Untuk mempercepat penyembuhan, bila abses telah matang, sebaiknya dilakukan aspirasi (pengisapan abses dengan menggunakan jarum) dan bukan disayat.
· Limfadenitis supurativa, terjadi jika penyuntikan dilakukan terlalu dalam atau dosisnya terlalu tinggi. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 2-6 bulan.

Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang berumur kurang dari 7 tahun. Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha.
Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT.
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster vaksin Td pada usia 14-16 tahun kemudian setiap 10 tahun (karena vaksin hanya memberikan perlindungan selama 10 tahun, setelah 10 tahun perlu diberikan booster).Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memperoleh perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.

DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin.
Pada kurang dari 1% penyuntikan, DTP menyebabkan komplikasi berikut:
- demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius) kejang
- kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya)
- syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).

Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat.
Jika anak pernah mengalami kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.
1-2 hari setelah mendapatkan suntikan DPT, mungkin akan terjadi demam ringan, nyeri, kemerahan atau pembengkakan di tempat penyuntikan. Untuk mengatasi nyeri dan menurunkan demam, bisa diberikan asetaminofen (atau ibuprofen).
Untuk mengurangi nyeri di tempat penyuntikan juga bisa dilakukan kompres hangat atau lebih sering menggerak-gerakkan lengan maupun tungkai yang bersangkutan.

Imunisasi DT
Imunisasi DT memberikan kekebalan aktif terhadap toksin yang dihasilkan oleh kuman penyebab difteri dan tetanus. Vaksin DT dibuat untuk keperluan khusus, misalnya pada anak yang tidak boleh atau tidak perlu menerima imunisasi pertusis, tetapi masih perlu menerima imunisasi difteri dan tetanus.

Cara pemberian iminisasi dar dan ulangan sama dengan imunisasi DPT.
Vaksini disuntikkan pada otot lengan atau paha sebanyak 0,5 ml.
Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada anak yhang sedang sakit berat atau menderita demam tinggi.
Feke samping yang mungkin terjadi adalah demam ringan dan pembengkakan lokal di tempat penyuntikkan yang biasanya berlangsung selama 1-2 hari.



























BAB III
PRNUTUP


v Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri pennghasil toksin yaitu corynebacterium dephtheriae. Beberapa tahun yang lalu difteri merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kemdatian pada anak-anal. Penyuakit ini menyerang saluran pernapasan (terutama laring, tenggorokan, dan amandel), tapi bisa juga menyerang skulit dan toksin yang dihasilkan corynebacterium diphtheriae bias menyuebabkan kerusakan pada saraf dan jantung.
Patogenesis
Basil akian berkembang pada saluran nafas bagian atas. Basil ini juga dapat berkembang pada daerah kulit, vulva dan telinga. Basil ini akan membentuk pseudromembran dan melepaskan eksotoksin dalam tubuh.
v Saran
Untuk mencegah terjadinya wabah penyakit difteri sebaiknya mengikuti imunisasi rutin sejak dini dan selengkapnya











DAFTAR PUSTAKA


- PELCZAR dan CHAN. 2005. Dasar-Dasar mikrobiologi, Jakarta : Universitas Indonesia Press.
- Arif Manyoer, Suprohaita, Wahyu ika Wardhani Wiwiek Setiowaulan 2000, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid II. Jakarta : Medan Aesculapius. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- Aru W. Sudoyo, Bambang setiyophadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati, 2006. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyaklit Dalam Fakultas Universitas Indonesia.
- www.health.vic.gov.au
- www.libtang.dpekes.go.id
- www.idionline.org
- www.cehs.siu.edu
- www.emidicine.com


MAKALAH
TOKSIN PADA CORYNEBACTERIUM DIPHTHERIAE



















Oleh :
STEVE KAWARANG








ATA PENGANTAR


Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya yang dilimpahkan saya bisa menyusun makalah ini yang berjudul Toksin Pada Corynebacterium Diphtheria.
Makalah ini disusun dalam upaya memenuhi8 salah satu kewajiban sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Keperawatan semester III Stikes Surya Global Yogyakarta khususnya mata kuliah Mikrobiologi.
Makalah ini jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan waktu, kemampuan, pengetahuan dan pengalaman. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritikan yang konstruktif dari berbagai pihak dalam upaya penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan pembaca khususnya. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan.



Yogyakarta, 20 Desember 2008


Penulis








DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1. Latar Belakang................................................................................ 1
2. Tujuan............................................................................................. 2
3. Rumusan Masalah........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................
1. ISI.................................................................................................. 3
BAB III PENUTUP............................................................................................ 3
1. Kesimpulan..................................................................................... 16
2. Saran.............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 17

descompensasi cordis

MAKALAH
DESCOMPENSASI CORDIS
NSP













Disusun Oleh :
Nama : DIAN SUSANTI
NIM : 04.06.1476
Kelas : D / KP / IV





PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2008
KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya makalah Nursing Simulation Program dengan judul Descompensasi Cordis dapat terselesaikan. Makalah ini penulis susun guna memenuhi tugas kuliah NSP. Makalah ini berisi tentang Asunhan Keperawatan Penyakit Descompensasi Cordis. Makalah ini penulis harapkan dapat membantu para mahasiswa untuk menambah pengetahuan tentang penyakit Descompensasi Cordis.
Penulis mengharapkan makalah ini bisa bermanfaat bagi semua. Penulis mengucapkan terima kasih atas partisipasi dan bantuan, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini, maka mohon dimaaafkan dan demi kesempurnaan makalah ini penulis memerlukan kritik, saran, maupun masukan dari dosen mata kuliah dan rekan-rekan.




Yogyakarta, Maret 2008



Penulis







DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I DASAR TEORI
A. Definisi Penyakit
B. Etiologi
C. Manifestasi Klinik
D. Patofisiologi
E. Penatalaksanaan
F. Komplikasi
G. Prognosis
BAB II ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
C. Intervensi
DAFTAR PUSTAKA












BAB I
DASAR TEORI


A. Definisi Penyakit
Gagal jantung adalah keadaan ketidakmampuan jantung sebagai pompa darah untuk memenuhi secara adekuat kebutuhan metabolisme tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh karena gangguan primer otot jantung atau beban jantung yang berlebihan atau kombinasi keduanya.
Untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, jantung yang bertindak sebagai pompa sentral akan memompa darah untuk menghantarkan bahan-bahan metabolisme yang diperlukan ke seluruh jaringan tubuh dan mengangkut sisa-sisa metabolisme untuk dikeluarkan dari tubuh.
Beban jantung yang berlebihan pada preload atau beban volume terjadi pada defek dengan pirau kiri ke kanan,, regurgitasi katup, atau fistula arteriovena. Sedangkan beban yang berlebihan pada afterload atau beban tekanan terjadi pada obstruksi jalan keluar jantung, misalnya stenosis aorta, stenosis pulmonal atau koarktasio aorta.
Gagal jantung kongestif pada bayi dan anak merupakan kegawatdaruratan yang sangat sering dijumpai oleh petugas kesehatan dimanapun berada. Keluhan dan gejala sangat bervariasi sehingga sering sulit dibedakan dengan akibat penyakit lain di luar jantung.
Gagal jantung yang merupakan ketidakmampuan jantung mempertahankan curah jantung (cardiac output=CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang. Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat, maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahan-perubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel dan mekanisme Frank-Starling. Dengan demikian manifestasi klinik gagal jantung terdiri dari berbagai respon hemodinamik, renal, neural dan hormonal yang tidak normal. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload.
Gagal jantung adalah keadaan patifisiologik di mana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan metabolisme tubuh, dan kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya. Gagal jantung merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang banyak dijumpai dan menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas utama baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang.

B. Etiologi
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu :
Gangguan mekanik ; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau bersamaan yaitu :
a. Beban tekanan
b. Beban volume
c. Tamponade jantung atau konstriski perikard, jantung tidak dapat diastole
d. Obstruksi pengisian ventrikel
e. Aneurisma ventrikel
f. Disinergi ventrikel
g. Restriksi endokardial atu miokardial
Abnormalitas otot jantung
a. Primer : kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal ginjal kronik, anemia) toksin atau sitostatika.
b. Sekunder: Iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif, korpulmonal
Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi
Di samping itu penyebab gagal jantung berbeda-beda menurut kelompok umur, yakni pada masa neonatus, bayi dan anak
Periode Neonatus
Disfungsi miokardium relatif jarang terjadi pada masa neonatus, dan bila ada biasanya berhubungan dengan asfiksia lahir, kelainan elektrolit atau gangguan metabolik lainnya. Lesi jantung kiri seperti sindrom hipoplasia jantung kiri, koarktasio aorta, atau stenosis aorta berat adalah penyebab penting gagal jantung pada 1 atau 2 minggu pertama.(1)
Periode Bayi
Antara usia 1 bulan sampai 1 tahun penyebab tersering ialah kelainan struktural termasuk defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten atau defek septum atrioventrikularis. Gagal jantung pada lesi yang lebih kompleks seperti transposisi, ventrikel kanan dengan jalan keluar ganda, atresia tricuspid atau trunkus arteriosus biasanya juga terjadi pada periode ini.
Periode Anak
Gagal jantung pada penyakit jantung bawaan jarang dimulai setelah usia 1 tahun. Di negara maju, karena sebagian besar pasien dengan penyakit jantung bawaan yang berat sudah dioperasi, maka praktis gagal jantung bukan menjadi masalah pada pasien penyakit jantung bawaan setelah usia 1 tahun.

C. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien, beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat, apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung.
Pada bayi, gejala Gagal jantung biasanya berpusat pada keluhan orang tuanya bahwa bayinya tidak kuat minum, lekas lelah, bernapas cepat, banyak berkeringat dan berat badannya sulit naik. Pasien defek septum ventrikel atau duktus arteriosus persisten yang besar seringkali tidak menunjukkan gejala pada hari-hari pertama, karena pirau yang terjadi masih minimal akibat tekanan ventrikel kanan dan arteri pulmonalis yang masih tinggi setelah beberapa minggu (2-12 minggu), biasanya pada bulan kedua atau ketiga, gejala gagal jantung baru nyata. Anak yang lebih besar dapat mengeluh lekas lelah dan tampak kurang aktif, toleransi berkurang, batuk, mengi, sesak napas dari yang ringan (setelah aktivitas fisis tertentu), sampai sangat berat (sesak napas pada waktu istirahat). Pasien dengan kelainan jantung yang dalam kompensasi karea pemberian obat gagal jantung, dapat menunjukkan gejala akut gagal jantung bila dihadapkan kepada stress, misalnya penyakit infeksi akut.
Pada gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri yang terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri, biasanya ditemukan keluhan berupa perasaan badan lemah, berdebar-debar, sesak, batuk, anoreksia, keringat dingin. Tanda obyektif yang tampak berupa takikardi, dispnea, ronki basah paru di bagian basal, bunyi jantung III, pulsus alternan. Pada gagal jantung kanan yang dapat terjadi karena gangguan atau hambatan daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun, tanpa didahului oleh adanya Gagal jantung kiri, biasanya gejala yang ditemukan berupa edema tumit dan tungkai bawah, hepatomegali, lunak dan nyeri tekan; bendungan pada vena perifer (vena jugularis), gangguan gastrointestinal dan asites. Keluhan yang timbul berat badan bertambah akibat penambahan cairan badan, kaki bengkak, perut membuncit, perasaan tidak enak di epigastrium.
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :
a. Gejala paru berupa : dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
b. Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites, hepatomegali, dan edema perifer.
c. Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium.
Pada kasus akut, gejala yang khas ialah gejala edema paru yang meliputi : dyspnea, orthopnea, tachypnea, batuk-batuk dengan sputum berbusa, kadang-kadang hemoptisis, ditambah gejala low output seperti : takikardi, hipotensi dan oliguri beserta gejala-gejala penyakit penyebab atau pencetus lainnya seperti keluhan angina pectoris pada infark miokard akut. Apabila telah terjadi gangguan fungsi ventrikel yang berat, maka dapat ditemukn pulsus alternan. Pada keadaan yang sangat berat dapat terjadi syok kardiogenik.

D. Patofisiologi
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung. Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik.
Kemampuan jantung untuk memompa darah guna memenuhi kebutuhan tubuh ditentukan oleh curah jantung yang dipengaruhi oleh empar faktor yaitu: preload; yang setara dengan isi diastolik akhir, afterload; yaitu jumlah tahanan total yang harus melawan ejeksi ventrikel, kontraktilitas miokardium; yaitu kemampuan intrinsik otot jantung untuk menghasilkan tenaga dan berkontraksi tanpa tergantung kepada preload maupun afterload serta frekuensi denyut jantung. Dalam hubungan ini, penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang ringan.
Pada awal gagal jantung, akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merngsang mekanisme kompensasi neurohumoral.
Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi/ dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi.(4)

E. Penatalaksanaan
Terdapat tiga aspek yang penting dalam menanggulangi Gagal jantung : pengobatan terhadap Gagal jantung, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan terhadap faktor pencetus. Termasuk dalam pengobatan medikamentosa yaitu mengurangi retensi cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung.Pengobatan umum meliputi istirahat, pengaturan suhu dan kelembaban, oksigen, pemberian cairan dan diet.
Medikamentosa : - Obat inotropik (digitalis, obat inotropik intravena),
- vasodilator : (arteriolar dilator : hidralazin), (venodilator : nitrat, nitrogliserin), (mixed dilator : prazosin, kaptopril, nitroprusid)
- Diuretik
- Pengobatan disritmia
Pembedahan :
- Penyakit jantung bawaan (paliatif, korektif)
- Penyakit jantung didapat (valvuloplasti, penggantian katup)

F. Komplikasi
Pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya mengalami gangguan pertumbuhan. Berat badan lebih terhambat daripada tinggi badan. Pada gagal jantung kiri dengan gangguan pemompaan pada ventrikel kiri dapat mengakibatkan bendungan paru dan selanjutnya dapat menyebabkan ventrikel kanan berkompensasi dengan mengalami hipertrofi dan menimbulkan dispnea dan gangguan pada sistem pernapasan lainnya. Pada gagal jantung kanan dapat terjadi hepatomegali, ascites, bendungan pada vena perifer dan gangguan gastrointestinal.

G. Prognosis
Pada sebagian kecil pasien, gagal jantung yang berat terjadi pada hari/ minggu-minggu pertama pasca lahir, misalnya sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia aorta, koarktasio aorta atau anomali total drainase vena pulmonalis dengan obstruksi. Terhadap mereka, terapi medikmentosa saja sulit memberikan hasil, tindakan invasif diperlukan segera setelah pasien stabil. Kegagalan untuk melakukan operasi pada golongan pasien ini hampir selalu akan berakhir dengan kematian.
Pada gagal jantung akibat PJB yang kurang berat, pendekatan awal adalah dengan terapi medis adekuat, bila ini terlihat menolong maka dapat diteruskan sambil menunggu saat yang bik untuk koreksi bedah. Pada pasien penyakit jantung rematik yang berat yang disertai gagal jantung, obat-obat gagal jantung terus diberikan sementara pasien memperoleh profilaksis sekunder, pengobatan dengan profilaksis sekunder mungkin dapat memperbaiki keadaan jantung.


BAB II
ASKEP TEORI


A. Pengkajian
1. IDENTITAS DATA
Identitas diri klien
Nama Klien :
TTL :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Agama :
Suku / Bangsa :
Pendidikan :
Diagnosa Medis : Dekompensasi Medis

Penanggung Jawab
Identitas diri klien
Nama Klien :
TTL :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Agama :
Suku / Bangsa :
Pendidikan :
Hub. dgn klien :



2. RIWAYAT KESEHATAN
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh sesak nafas pada waktu istirahat
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada pasien gagal jantung keluhan yang dirasakan nyeri pada dada dan mengalami sesak dan batuk apda saat beraktifitas maupun emosi.
c. Riwayat Kesehatan Lalu
v Penyakit jantung
v Merokok
v Hieprtensi
v Gagal jantung
v Obesitas
v Trauma
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
v Hipertensi
v Gagal jantung
v Stroke
v Penyakit jantung
e. Genogram

f. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Pasien tinggal di lingkungan yang bersih dan jauh dari polusi, pemandangan sekitar rumah sangat asri karena ditumbuhi oleh banyak pohon yang rindang.

3. POLA FUNGSI KESEHATAN (GORDON)
a. Persepsi terhadap Kesehatan
Pasien mengatakan bahwa sakit oleh suatu rasa tidak enak pada badan yang membuat kita menjadi tidak nyaman dan pasien mengatakan bahwa kesehatan merupakan suatu keadaan dimana dia dapat melakukan aktivitas tanpa disertai gangguan pada tubuh dan perasaannya (rohani).

b. Pola Aktivitas Latihan
Aktivitas
0
1
2
3
4
Mandi





Berpakaian





Eliminasi





Mobilisasi di tempat tidur





Ambulansi





Makan






Keterangan : 0 : Mandiri
1 : Menggunakan alat bantu
2 : Dibantu orang lain
3 : Dibantu orang dan peralatan
4 : Ketergantungan / tidak mampu

c. Pola Istirahat Tidur
Pada klian yang mengalami gagal jantung sukar untuk istirahat di karenakan sering mimpi buruk dan kadang mengalami sesak nafas. Perlu dikaji tentang kuantitas dan kualitas tidur klien sebelum dan selama di rumah sakit.

d. Pola Nutrisi Metabolik
Pada pasien gagal jantung pola nutrisi yang didapatkan adanya nafsu makan menghilang, mual muntah selama fase akut, kehilangan sensasi pada lidah, dan adanya kesulitan untuk menelan.
e. Hidung
Ø Inspeksi
v Bagian luar : Simetris
v Bagian dalam : Bersih
v Ingus : Tdak ada
v Pendarahan : Tidak ada
v Penyumbatan : Tidak ada
Ø Palpasi
v Septum : Tdak ada nyeri tekan
v Sinus-sinus : Tidak ada infeksi

f. Mulut
Ø Inspeksi
v Bibir : Kering dan mengelupas
v Gigi : Bersih
v Gusi : Tidak ada pembengkakan lokal
v Lidah : Ada lendir putih
v Sel lendir : Menggumpal
v Faring : Tidak ada infeksi
v Ovula : Merah muda
v Tonsil : Tidak ada pembengkakan
Ø Palpasi
v Pipi : Montok
v Palatum : Keras, tidak ada benjolan
v Dasar mulut : Bau, tidak ada pembengkakan lokal
v Lidah : Tidak ada nyeri tekan

g. Leher
Ø Inspeksi
v Bentuk : Silinder
v Warna : Kecoklatan
v Bengkak : Tidak ada
v Hyperplasia : Tidak ada
v JVP : Tidak ada
v Gerakan : Dalam melakukan putaran penuh tanpa
adanya rasa sakit.
Ø Palpasi
v Kel. Limfe : Tidak ada pembengkakan
v Kel. Tiroid : Tidak ada pembengkakan
v Trakea : Tidak ada benjolan
v Pemb. Darah : Tidak ada peningkatan tekanan

h. Dada
v Bentuk : Simetris
v Reaksi : Cepat
v Kulit : Turgor jelek
v Payudara : Simetris

i. Paru-paru
v Infeksi kanan kiri : Simetris
v Palpasi kanan kiri : Tidak terdapat edema
v Perkusi kanan kiri : Wheezing
v Auskultasi kanan kiri : Warna vesikuler paru tidak meningkat

j. Jantung
v Infeksi : Normal
v Palpasi : Denyut jantung teraba cepat
v Perkusi : Tidak ada (terdengare suara tambahan
v Auskultasi : Tidak normal (terdengar suara mur-mur)

k. Abdomen
Ø Inspeksi
v Bentuk : Normal
v Retraksi : Cepat
v Simetris : Simetris
v Penonjolan : Tidak ada
Ø Auskultasi
v Peristaltik : Tidak normal (cepat)
v Bising arteri : Tidak normal (terdengar lemah)
v Bising vena : Tidak nbormal (terdengar lemah dan
dangkal)
Perkusi : Tidak ada bising usus
Palpasi :

l. Anus dan Rectum
Adanya kekakuan dan nyeri lepas

Diangosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b/d menurunnya filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)
2. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan.
3. Risiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d tirah baring lama.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, mual, muntah, meteorismus.
5. Pola pernafasan tak efektif b/d penurunan ekspresi paru

B. Diangosa Keperawatan
No
Symptom
Problem
Etiologi
1
DS :
DO : - Aktivitas dibantu
orang lain
- Penurunan kekuatan
- Klien lemah

- Ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan


- Intoleransi aktivitas
2
DS :
DO : - Berat badan bertambah
- Perut buncit
- Kaki bengkak

- Menurunnya filtrasi, glometulus (menurunnya curah jantung)

- Kelebihan volume cairan
3
DS :
DO : - Turgor kulit jelek
- Mukosa bibir kering

- Tirah baring lama


- Resiko terhadap kerusakan integriats kulit.
4
DS :
DO : - Mual / muntah
- Nafsu makan hilang

- Anoreksia, mual-muntah meteorismus

- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
5
DS :
DO : - Batuk
- Mengi
- Sesak nafas
- Nyeri dada

- Penurunan ekspansi paru

- Pola nafas tidak efektif

C. Intervensi

D.































DAFTAR PUSTAKA
1. Oesman I.N, 1994. Gagal Jantung. Dalam buku ajar kardiologi anak. Binarupa Aksara. Jakarta. Hal 425 – 441
2. Abdurachman N. 1987. Gagal Jantung. Dalam Ilmu Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI. Jakarta. Hal 193 – 204
3. Ontoseno T. 2005. Gagal Jantung Kongestif dan Penatalaksanaannya pada Anak. Simposium nasional perinatologi dan pediatric gawat darurat. IDAI Kal-Sel. Banjarmasin. Hal 89 – 103
4. Kabo P, Karim S. 1996. Gagal Jantung Kongestif. Dalam : EKG dan penanggulangan beberapa penyakit jantung untuk dokter umum. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 187 – 205
5. Price, Sylvia A 1994. Gangguan Fungsi Mekanis Jantung dan Bantuan Sirkulasi. Dalam : Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. EGC. Jakarta. 582 - 593
6. Mappahya, A.A. 2004. Dari Hipertensi Ke Gagal Jantung. Pendidikan Profesional Berkelanjutan Seri II. FKUH. Makassar. 2004.

penyakit peritonitis

BAB I
LANDASAN TEORI


A. PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN PERITONITIS
Dalam istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis. Peritoneum bereaksi terhadap stimulus patologik dengan respon inflamasi bervariasi, tergantung penyakit yang mendasarinya.
Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi atas penyebab primer (peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis organ viseral) atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat. Secara umum, infeksi (umum) dan abses abdomen (lokal).
Infeksi peritonitis relatif sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya.
Selian tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misal penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen. Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif lainnya.

B. PENYEBAB PERITONITIS
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah spontaneus Bacterial peritonitis (SBP) dan perintonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen. Namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat Asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10 – 30% pasien dengan sirosis dan asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan asites semakin tinggi resiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites.
Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi Monomikroba. Patogen yang paling sering menyebabkan infeksi ialah
Bakteri gram negatif yakni 40% Eschericia Coli
7% Klebsiella pneumoniae +
Spesies pseodomonas +
Proteus
20% gram negatif lainnya
- Bakteri gram positif yakni 15% Streptococcus pneumoniae
15% Jenis streptococcus lain
3% Golongan streptococcus
Kurang dari 5% kasus juga ditemukan mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi campur beberapa mikroorganisme.

C. PATOFISIOLOGI PERINTONITIS
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra abdomen (meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin dengan adanya pembentukan jejaring pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan cara ini akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat banyak diantara matriks fibrin.
Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman-kuman itu sendiri untuk menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah kuman yang sangat banyak tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan. Penyebaran kuman dengan membentuk komportemen-komportemen yang kita kenal sebagai abses. Yang paling sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral / intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen.

D. TANDA DAN GEJALA KLINIS
- Adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum viseral). Kemudian lama kelamaan menjadi jelas lokasinya (peritoneum parietal).
- Pada keadaan peritonitis akibat penyakit tertentu.
Misalnya : Perforasi lambung, duodenum, pankreatitis akut yang berat,/ iskemia.

Tanda-tanda peritonitis
- Demam tinggi
- Pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia
- Takikardi
- Dehidrasi
- Hipotensi

E. PERAWATAN PADA PASIEN PRA OPERASI DAN PASCA OPERASI
Perawat memiliki peranan penting dalam meminimalkan terjadinya infeksi serta penyebaran infeksi :
1. Menjaga pasien terbebas dari mikroorganisme
a. Medikal aseptik (teknik bersih)
- Meliputi prosedur yang dilakukan untuk menurunkan dan mencegah penyebaran mikroorganisme.
- Tindakannya adalah cuci tangan, mengganti linen.
- Pada teknik ini, suatu area dikatakan terkontaminasi jika diwaspadai / terdapat patogen.

Jika diwaspadai / terdapat patogen
Misal : bedpon yang telah dipakai, lantai, kassa yang basah.

2. Surgical asepsis (teknik steril)
- Untuk meniadakan mikroorganisme
- Tindakannya adalah sterilisasi
- Suatu area dikatakan tidak steril jika terkontaminasi benda yang tidak steril
Misal : sarung tangan bagian luar tersentuh tangan alat steril tersentuh tangan.

Cuci tangan dilakukan pada saat :
- Awal mulai shift
- Sebelum / sesudah kontak dengan klien
- Sebelum melakukan prosedur invasif
- Sebelum dan sesudah melakukan perawatan luka
- Setelaj kontak dengan cairan tubuh
- Setelah selesai shift

Penggunaan sarung tangan
Untuk mencegah terjadinya transmisi patogen baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penggunaan sarung tangan dapat menurunkan :
- Kemungkinan terjadinya kontak dengan mikroorganisme yang infeksius.
- Resiko penyebaran flora andogen dari perawat ke pasien.
- Resiko penyebaran mikroorganisme dari pasien ke perawat.
- Sarung tangan digunakan pada saat perawat :
Mengalami luka pada kulitnya
Melakukan tindakan infasif
Beresiko untuk terpapar dengan darah dan cairan tubuh

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN MASALAH PERITONITIS
DI BANGSAL BEDAH

Tanggal : 04 Desember 2007 jam 12.30
Tanggal Pengkajian : 04 Desember 2007 jam 12.45
A. PENGKAJIAN
Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Ny. T
Umur : 35 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Bhayangkara No. 23

b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. A
Umur : 38 tahun
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Bhayangkara No. 23
Hubungan dengan pasien : Suami pasien

Status Kesehatan
a. Keluhan Utama
- Nyeri pada abdomen / luka post operasi
b. Lama keluhan
- Nyeri terasa saat bergerak
c. Timbulnya keluhan
- Nyeri timbul mendadak atau tiba-tiba
d. Faktor yang memperberat
- Luka pada abdomen / luka post-operasi
e. - Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
- Tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengatasi rasa nyeri

Riwayat Kesehatan
a. Penyakit yang pernah dialami
- Belum pernah dirawat di rumah sakit akibat penyakit yang serupa
b. Riwayat Alergi
- Pasien tidak ada riwayat alergi obat-obatan maupun makanan
c. Riwayat kesehatan keluarga
- Tidak ada riwayat penyakit keturunan

Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola aktivitas latihan
Aktivitas
0
1
2
3
4
Mandi
Eliminasi
Mobilisasi ditempat tidur
Pindah
Ambulansi
Makan











b. Nutrisi / Metabolik
- Pasien tidak dapat mencerna makanan
- Pasien menjalani puasa
- Asupan nutrisi kurang
c. Eliminasi
- Eliminasi tidak teratur / kurang karena tidak adanya nutrisi atau asupan yang masuk ke dalam tubuh.
d. Pola istirahat tidur
- Tidurnya sering terbangun akibat rasa nyeri
- Pola tidur pasien tidak teratur
e. Pola hygiene tubuh
- Pasien terlihat kumuh
f. Genogram






Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien

g. Pola kognitif perseptual
- Status mental
Sadar
- Dalam menghadapi masalah masih bisa berpikir positif.
h. Pola konsep diri
- Pandangan terhadap dirinya baik
- Pasien tidak dapat melakukan perannya
i. Pola koping
- Takut dan tampak gelisah akibat perubahan tubuh yang terjadi
j. Pola seksual reproduksi
- Kebutuhan sexual tidak terpenuhi
k. Pola peran dan hubungan
- Selama sakit pasien tidak bisa melakukan perannya. Hubungannya dengan keluarga tetap baik.
l. Pola nilai dan kepercayaan
- Kesehatan itu penting dan penyakit adalah cobaan dari Tuhan sehingga ia berusaha berobat.

Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum
- Pasien tampak pucat, cemas
- Badan sangat lemas
b. Komposmetif
- Sadar penuh
c. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala dan Rambut
- Infeksi
a) Bentuk kepala : Mesocepal, bulat (normal), simetris
Ubun-ubun : Dokter
Kulit kepala : Agak lembab, tidak ada lesi
Agak berbau, tidak ada tonjokan
b) Rambut : Tidak rontok, kering
Agak bau
Hitam
c) Wajah : Bulat, oval
Warna kulit : Pucat
Struktur wajah : Tidak ada luka
Tidak ada benjolan
Kesan wajah : Lemah
Agak cemas
Tidak ceria

d. Mata
- Inspeksi
1. Kesimetrisan
- Simetris dan tidak juling
2. Kelopak mata
- Tidak ada lesi
- Tidak ada benjolan
3. Konjungtiva
- Warna tidak pucat
- Tidak ada peradangan
4. Sklera
- Tidak iklerik, berwarna putih
5. Kornea dan iris
- Tidak ada peradangan
- Dapat bergerak dengan normal
e. Hidung
- Inspeksi
1. Tulang hidung dan posisi septum nasi normal, tidak ada pembengkakan.
2. Lubang hidung
- Tidak ada sklet, tidak ada pendarahan
- Selaput lendir lembab, kasa hidung lembab
- Tidak ada polip
3. Coping hidung
- Tidak ikut membesar / melebar saat bernafas
f. Telinga
- Inspeksi
1. Bentuk telinga simetris
Ukuran telingan sedang
Ketegangan telinga lentur

2. Lubang telinga
Tidak ada serumen
Tidak ada benjolan
Cortdis tidak ada skleret / serumen
g. Mulut dan Faring
- Inspeksi
1. Keadaan bibir - Tidak ada luka dan tidak sumbing
- Kering
2. Keadaan gusi - Gusi berwarna merah
Gigi tampak kotor
3. Lidah : Warna lidah pucat
Mulut terdapat bau mulut
4. Ocafaring : Tidak ada benda Asing
Tidak ada perubahan suara
Tidak ada Tonsilitis
Suara napas normal
h. Leher
- Inspeksi
1. Posisi trachea : Simetris
2. Tyroid – Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid
3. Suara – Tidak ada perubahan suara
4. Kelenjar lymphe – Tidak ada pembesaran kelenjar lymphe
5. Vena fegularis – Tidak terjadi pembesaran
6. Warna kulit – Tidak ada Ruber
i. Kulit
- Inspeksi
- Kotor
- Tidak ada ruber
- Palpasi
- Hangat
- Tidak dingin
- Turgor kurang
- Agak kering
j. Dada
- Inspeksi
1) Bentuk Thorax – Normal, Simetris
2) Pernapasan
Irama – reguler / teratur
Pola – pernapasan dada
3) Tidak ada kesulitan napas
- Palpasi
® Paru : Getaran suara (vocal fromitus)
Seimbang kanan dan kiri (normal)
- Perkusi
® Resonan (normal)
- Auskultasi
® Vesikuler (normal)
Suara ucapan normal
k. Abdomen / Perut
- Inspeksi
® Bentuk abdomen : Tidak ada distensi abdomen
Terdapat luka / lesi post operasi
- Auskultasi
® Peristalik usus terganggu akibat luka post operasi.
- Palpasi
® Ada nyeri pada semua kuadran
Terdapat luka
Terdapat tanda-tanda asites
- Perkusi
® Suara Abdomen : Tymphony
Hepar : Pekok
Lien : Pekok
l. Tulamin / Genetalia
- Sekitar pubis tidak ada lesi
- Meatus Uretra tidak ada lesi
- Perineum tidak ada luka

B. ANALISA DATA
Data Fokus
- Nyeri pada abdomen
- Mulut berbau
- Gigi tampak kotor
- Dehidrasi
- Hipertemi

NO.
DATA SYMPTOM
ETIOLOGI
PROBLEM
1.
Gelisah, wajah terlihat meringis menahan sakit pasien terlihat hati-hati saat bergerak.
- Agen Biologi
(adanya luka di abdomen post operasi)

- Nyeri akut
2.
Kebutuhan pasien di bantu oleh keluarga
- Kelemahan fisik
- Intoleransi aktivitas
3.
- Badan terasa panas
Bibir kering
Turgor kulit jelek
- Dehidrasi
- Hipertensi
4.
Cemas dan perasaan tidak adekuat
- Perubahan dalam status kesehatan
- Ansietas
Cemas
5.
Kulit pasien pada luka dan sekitar luka tampak merah.
- Agen biologi (luka post operasi)
- Kerusakan
Integritas kulit
6.
Susah bernafas frekuensi pernafasan terlihat cepat.
- Penurunan kedalaman pernapasan sekunder (akibat tindakan melindungi rasa nyeri).
- Ketidakefektifan pola pernapasan.
7.
Gelisah, berkeringat, gatal-gatal.
- Potensial terhadap memburuknya/kambuhnya perintonitis
- Perubahan perlindungan

C. INTERVENSI
TGL/ JAM
NO
DX
TUJUAN DAN
KRITERIA HASIL
INTERVENSI
RASIONAL

1.
Setelah dilakukan
Tindakan keperawatan
1 x 24 jam pasien dapat :
- Mengidentifikasi sumber-sumber nyeri
- Menggambarkan rasa nyaman dari orang lain selama menga lami nyeri
- Kaji tanda-tanda vital
- Anjurkan pasien untuk beristirahat / bedrest
- Ajarkan tindakan penurunan nyeri
- Ajarkan metode dis traksi selama nyeri
- Berikan informasi yang akurat untuk mengurangi rasa nyeri
- Sebagai data dasar
- Mengurangi aktivi tas pasien
- Menurunkan intensi tas nyeri
- Mengetahui tingkat/ peningkatan nyeri
- Mengenali adanya rasa nyeri
- Menghindari adanya kesalahan konsep tentang nyeri

2.
Setelah dilakukan
Tindakan keperawatan
1 x 24 jam
Pasien dapat :
- Mengidentifikasi faktor-faktor yang menurunkan toleran aktivitas
- Memperlihatkan ke majuan (khususnya tingkat yang lebih tinggi dari mobilitas yang mungkin)
- Memperlihatkan adanya peningkatan aktivitas.
- Kaji tanda-tanda vital
- Kaji respon pasien terhadap aktivitas
- Kurangi intensitas frekuensi / lamanya aktivitas
- Meningkatkan aktivi tas secara bertahap
- Ajarkan pasien meto da penghematan ener gi untuk aktivitas
- Sebagai data dasar
- Mengetahui adanya peningkatan atau penurunan aktivitas pasien
- Mengurangi frekuen si pernapasan me ningkat berlebihan setelah aktivitas
- Menurunkan upaya bernapas dan mengurangi beban kerja otot

3.
Setelah dilakukan
Tindakan keperawatan
1 x 24 jam
- Suhu tubuh pasien normal
- Mengidentifikasi faktor-faktor risiko terhadap hipertemia
- Kaji tanda-tanda vital
- Ajarkan pasien pen tingnya mempertahan kan masukan cairan yang adekuat
- Pantau masukan dan keluaran
- Ajarkan pentingnya peningkatan masukan cairan dalam tubuh
- Ajarkan tanda-tanda hipertemia
- Sebagai data dasar
- Mencegah dehidrasi
- Pentingnya masukan cairan untuk aktivi tas
- Masukkan dan ke luaran seimbang
- Mengetahui tanda awal hipertermia

4.
Setelah dilakukan
Tindakan keperawatan
1 x 24 jam
- Pasien rileks
- Rasa cemas pasien berkurang
- Pasien paham terhadap perubahan yang terjadi

- Berikan lingkungan yang nyaman
- Anjurkan pasien untuk bedrest
- Memonitor kebutuhan pasien
- Tenangkan pasien
- Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada klien dan perasaan yang mungkin muncul pada saat awal melakukan tindakan
- Menurunkan stimu lus lingkungan
- Menyingkirkan tanda kecemasan
- Menampilkan peran dengan memperta hankan hubungan sosial
- Adanya penurunan atau peningkatan kebutuhan

5.
Setelah dilakukan
Tindakan keperawatan
1 x 24 jam
Pasien dapat :
- Mengekspresikan hasrat untuk ikut serta dalam pence gahan luka
- Menggambarkan etio logi dan tindakan pencegahan
- Memperlihatkan inte gritas kulit bebas dari luka
- Kaji kecukupan ma sukan cairan
- Berikan dorongan lati han tentang gerak
- Lindungi permukaan kulit yang sehat
- Masase dengan lem but kulit sehat di sekitar area yang sakit
- Dalam hidrasi yang adekuat kira-kira 2500 ml sehari
- Kemampuan kulit untuk pulih
- Meningkatkan penyembuhan luka
- Merangsang sirkulasi

6.
Setelah dilakukan
Tindakan keperawatan
1 x 24 jam
Pasien dapat :
- Menjaga kebersihan khususnya di daerah luka
- Bebas dari proses infeksi selama pera watan
- Melakukan tindakan pencegahan yang tepat untuk mence gah infeksi
- Kaji terhadap
prediktor :
→ Infeksi
→ Operasi abdomen
- Kaji terhadap faktor-faktor yang mengacau kan
→ Usia
→ Kondisi penyakit yang mendasari
- Kurangi organisme yang masuk ke dalam pasien (khususnya luka)
→ Cuci tangan
→ Teknik antiseptik
→ Tindakan isolasi
- Amati terhadap mani festasi klinis infeksi
- Mengidentifikasi individu yang bere siko terhadap infeksi

7.
Setelah dilakukan
Tindakan keperawatan
1 x 24 jam
Pasien mempunyai pola pernapasan efektif dibuk tikan dengan tidak adanya bunyi napas adventisius.
PaO2 : 80 mmHg
Saturasi O2 : 95%
TD : 90/60 mmHg dan berorientasi terhadap waktu, tempat dan orang
- Pantau hasil GDA dan waspada terha dap indikator-indika tor hiposekmia satu rasi O2 rendah dan PaO2
- Auskultasi lapang paru-paru
- Pertahankan pasien pada posisi semi fowler/ fowler
- Anjurkan napas dalam
- Berikan oksigen sesuai program
- Tanda-tanda klinis :
Hipotensi, Tokikar dia Hiperventilasi, gelisah depresi SSP dan kemungkinan sianosis
- Mengkaji ventilasi dan mendeteksi kom plikasi pulmoner
- Membantu upaya pernapasan
- Meningkatkan oksigenasi

8.
Setelah dilakukan
Tindakan keperawatan
1 x 24 jam
Pasien bebas dari gejala peritonitis yang mem buruk / berulang / syok septik dibuktikan dengan normotermia
TD : 90/60 mmHg
- Penurunan lingkar abdomen
- Nyei tekan minimal pada palpasi
- Kaji abdomen selama 1-24 jam selama fase akut dan setiap 4 jam bila kondisi pasien telah stabil
- Bila diprogramkan, pasang gastrik dan sumbangkan pada penghisap
- Pantau TV sedikitnya setiap 2 jam, lebih sering bila kondisi pasien tidak stabil
- Berikan antibiotik sesuai program
- Mengkaji motilitas
- Mencegah dan me nurunkan distensi
- Waspada tanda-tan da syok septik : peningkatan suhu, hipotensi, takikordia pernapasan cepat
- Mengurangi nyeri



BAB III
KESIMPULAN

Pada pasien peritonitis perlu dilakukan perawatan dan kebersihan diri yang meliputi :
- Perined Hygiene untuk menghindari resiko-resiko infeksi di daerah perineum.
- Ord Care untuk menjaga kebersihan mulut, karena pada pasien peritonitis diterapkan untuk menjalani puasa pasca operasi. Sehingga perlu dilakukan ord card untuk emmbersihkan bakteri, sisa-sisa dari mukosa dan sekresi lain yang berkumpul di mulut,.
- Perawatan kuku dan rambut
® Untuk mencegah infeksi, bau dan perlukaan jaringan demi kenyamanan pasien.
® Perawatan rambut agar mikroorganisme hilang dari rambut, untuk menjaga kondisi kulit kepala. Agar terlihat rapi dan tidak kusut.

Selain itu juga dilakukan perawatan luka pasca operasi dengan tujuan :
- Melindungi luka dari trauma mekanik.
- Mengimbolisasi luka.
- Mengabsorbsi drainase.
- Mencegah kontaminasi dari kotoran-kotoran tubuh (feses + urine).
- Membantu hemostatis.
- Menghambat / membunuh mikroorganisme.
- Memberikan lingkungan fisiologis yang sesuai untuk penyembuhan luka.







DAFTAR PUSTAKA


- Potter, Perry. 1999. Ketrampilan dan Prosedur Dasar. EGC Jakarta.

- Ropper. Nancy. 2002. Prinsip-prinsip Keperawatan. Jakarta.

- Corpenito, Lyndo Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC Jakarta.

- Price, Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. EGC Jakarta.

- Tim Keperawatan. 2007. Modul Keperawatan NSP. STIKES SURYA GLOBAL. Yogyakarta.

















MAKALAH
“PENYAKIT PERITONITIS”
NURSING SIMULATION PROGRAM
(NSP)













Disusun Oleh
Nama : RETNA SARI
NIM : 04.06.1389
Kelas : B / KP / III
Prodi : ILMU KEPERAWATAN





SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2007
KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Praktikum Nursing Simulation Program (NSP) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta.
Serta tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pembimbing NSP dan asisten dosen NSP yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat bermanfaat.
Kepada teman-teman yang telah membantu dalam mengumpulkan bahan-bahan pembuatan makalah.
Tentu saja makalah ini masih banyak kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan saran serta kritik yang membangun.



Yogyakarta, 2007


Penulis







ii
DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I LANDASAN TEORI............................................................................ 1
A. Pengertian dan Pembagian Peritonitis................................................ 1
B. Penyebab Peritonitis ........................................................................ 1
C. Patofisiologi Peritonitis...................................................................... 2
D. Tanda dan Gejala Klinis.................................................................... 3
E. Perawatan Pasien Pra Operasi dan Pasca Operasi............................ 3
BAB II ASUHAN KEPERAWATAN .............................................................. 5
A. Pengkajian ...................................................................................... 5
B. Analisa Data..................................................................................... 12
C. Intervensi ........................................................................................ 13
BAB III KESIMPULAN ................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA
iii