Sabtu, 17 Mei 2008

TOKSIN PADA CORYNEBACTERIUM DIPHTHERIAE

BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Toksin adalah segala bentuk zat yang memiliki efek destruktif bagi fungsi sel dan struktur sel tubuh. Adapun beberapa toksin yang bersifat fatal dan beberapa bersifat lebih ringan. Toksin didefinisikan sebagai bahan kimia atau unsur berbahaya yang dihasilkan secara semuala. Jadi atau bukan semula jadi, bahan-bahan yang tidak boleh digunakan dan bahan yang dibuang dari tubuh kita.
Toksin merupakan racun yang dapat mengalahkan berbagai penyakit dan gangguan-gangguan pada kesehatan seperti kanker, penyakit pada perut dan lain-lain. Toksin berada di mana-mana, badan kita dipenuhi dengan toksin dan diserap masuk ke dalam tubuh melalui udara yang terhirup air yang diminum, makanan yang dikonsumsi. Di dalam rumahpun toksin dapat tersebar melalui asap rokok, alat penyegar udara, dan lainnya. Di luar rumah, toksin dibawa oleh asap kendaraan, asap kilang, udara yang tercemar serta bahan kimia pertanian.
Adapun salah satu dari bakteri yang dapat menghasilkan toksin yaitu corynebacterium diphteri. Corynobacterium diphtheria ini dapat menyebabkan penyakit difteri. Distribusi penyakit tetanus diseluruh dunia terutama pada Negara-negara miskin yang penduduknya tinggal pada tempat pemukiman yang rapat, hygiene dan sanitasiny jelek dan fasilitas kesehatan jelek dan kurang. Goongan umur yang paling sering terkena adalah 2-010 tahun jarang pada umur dibawah 6 bulan akibat imunisasi pasif dari ibu melalui plasenta juga jarang pada orang dewasa ditas 15 tahun. Penulatan bisa dari kontak dengan pasien diferi / carrier difteroi. Basil ditularkan lewat kontak langsung seperti batuk, bersisi, berbicara, dan kontak tidak langsunga lewat dahak, bauju / buku atau mainan yang terkontaminasi karena basil ini cukup resisten dnegan udara, panaas, dingin dan kering. Penularannya berbahaya karena tidak dikenal dan bersifat silent.
Sejalan dengan perkembangan kedokteran untuk mengatsi penyakit ini dibuatkan vaksin anti difteri. Dimana vaksin ini akan meningkatkan antibody tubuh. Difteri ini adalah penyakit yang sangat menular yang umumnya menyerang daerah tenggorokan. Setelah inkubasi 2-6 hari dengan peradangan pada tenggorokan gehala lain yang ditimbulkan yaitu tubuh melemah serta demam. Pada saat telah terbentuk selaput lemak di wilayah tenggorokan maka menyebabkan penderuita sulit bernafas dan menelan makanan, sehingga umumnya terpaksa dilakukan tracheostomy pembuatan lubang di bagian tenggorokan agar penderita lebih mudah bernafas dan dapat dipasang selang makanan. Untuk itu kita harus waspada dan melakukan imunisasi rutin dan lengkap. Toksin corynobacterium ini mempunyai dampak negatif bagi manusia yaitu menyebabkan penyakit DIFTERI sedangkan segi positifnya sangat berguna bagi ilmu kedokteran untuk pengobatan penyakit difteri dengan dilakukannya penelitian pembuatan vaksin untuk imunisasi

2. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini :
1. Untuk mengetahui toksin corynobacterium diphtheria
2. Untuk mengetahui dan memahami patogenesis dan patofisologi dari toksin corynobacterium diphtheria
3. Untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan dari penyakit difteri
4. Untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen Mikrobiologi Semester III.

3. Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dnegan toksin corynobacterium diphtheria? Segi positif dan segi negatifnya
Apa pengertian dari difteri?
Bagaiman pengobatan dan pencegahan dari penyakit difteri?




BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian
Difteri toksoid adalah toksin dari corynobakterium diptateriae yang toksitasnya sudah dilemahkan toksoid ini sebagai antigen untuk meningkatkan anti bodi (kekebalan tubuh) terhadap penyakit difteri disebut pula antibody humoral.
Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan difteri.Difteri adalah suatu penyakit infeksi mudah menular dan menyerang saluran napas bagian atas berupa pseudo membrane dan ekso toksin penularan melalui udara dan makanan Terdapat 3 jenis basil yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Basil dapat membentuk :
Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan meliputi daerah yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekotik dan basil.Eksotoksin yang snagat gnas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas teritama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minuman Lethal dosea (MLD) toksin ini ialah 0,02 me Bakteri ini dikenal juga sebagai basillus Klebs-Löffler karena ditemukan pada 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915). C. diphtheriae adalah makhluk anaerobik fakultatif dan Gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, tak bergerak, dan berbentuk batang 1 hingga 8 µm dan lebar 0,3 hingga 0,8 µm. Pada kultur, kelompok bakteri ini akan berhubungan satu sama lain dan membentuk seperti huruf Tionghoa. Gejala utama dari penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran yang merupakan hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran sendiri merupakan lapisan tipis berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa hidung, mulut sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran, kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf. Bakteri gram-positif adalah bakteri yang mempertahankan zat warna metil ungu sewaktu proses pewarnaan Gram. Bakteri jenis ini akan berwarna biru atau ungu di bawah mikroskop, sedangkan bakteri gram-negatif akan berwarna merah atau merah muda. Perbedaan klasifikasi antara kedua jenis bakteri ini terutama didasarkan pada perbedaan struktur dinding sel bakteri.
Banyak strain C. diphtheriae yang memproduksi racun difteri, sebuah eksotoksin protein, dengan berat molekul 62 kilodalton. Ketidakaktifan racun dengan serum antiracun merupakan dasar dalam vaksinasi antidifteri. Tdiak semua strain berbahaya. Produksi racun akan terjadi bila bakteri dinfeksi oleh sebuah bakteriofaga.
Terdapat tiga subspesies yang dikenal yakni: C. diphtheriae mitis, C. diphtheriae intermedius, dan C. diphtheriae gravis. Ketiganya berbeda pada kemampuan untuk mengolah zat gizi tertentu. Semuanya dapat menjadi berbahaya yang menyebabkan difteri atau tidak berbahaya sama sekali pada manusia.
Bakteri ini peka pada sebagian besar antibiotika, seperti penisilin, ampisilin, sefalosporin, kuinolon, kloramfenikol, tetrasiklin, sefuroksim dan trimetrofim
· .
Bentuk dari corynebacterioum ini seperti palu (mengalami pembesaran pada salah satu ujung) diameter 0,1-1 mm dan panjang beberapa mm. basil ini hanya timbul pada medium tertentu yaitu : medium loffler, medium telluritye, ferment glucose. Pada medium loffler ; bakteri tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni berwarna abu-abu. Apda medium tellurite basil ini tumbuh lebih lambat membentuk koloni-koloni, berwarna abu-abu kehitaman, menurut bentuk besar dan warna koloni yang terbentuk dapat dibedakan 3 jenis basil.
a. Gravis : koloninya besar, kasar irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis entrosit.
b. Mitis : koloninya kecil, halus, warna hutan konveks dan dapat menimbulkan hemolisis entrosit.
c. Intermediate : koloninya kecil, halus, punya bentuk hitam ditengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibanding mitis. Karakter jenis gravis dapat memfermentasikan tepung kanji dan glukogen sedangkan mitis dan intermediate tidak. Namun semua dapat memproduksi eksotoksin tapi virulensinya beda. Yang tidak virulen adalah grup mitis tapi kadang-kadang ada bentuk gravis / intermediate yang tidak virulen pada manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah non toksigenik. Setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium dikarenakan pengaruh bakteriojag.
Untuk mmebedakan jenis virulen dan non virulennya dapat dilakukan pemeriksaan :
Uji prrespipitasi agar gel (elektroforesis)
Inokulasi intradeunnal terhadap guinea pig.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri seperti hoffman, C Xerosis dan lain-lain.
.
Difteri adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan, terutama pada balita. Eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri penyebabnya yaitu Corynebacterium diphtheriae, dapat membahayakan jiwa anak bahkan menyehabkan kematian. Angka kesakitan dan kematian pada anak karena difteri masih tinggi, sehingga penyakit tersebut sampai saat ini merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Intervensi pencegahannya adalah dengan imunisasi DPT pads bayi dan DT pada anak.. Struktur toksin difteri telah diteliti.
Dalam kaitannya dengan pengembangan vaksin difteri, perlu dilakukan studi mengenai aktivitas biologis dari eksotoksin difteri dengan menggunakan antibodi mono-klonal. Untuk mendapatkan basil optimal dari antibodi monoklonal tersebut telah dilakukan penelitian dengan mencit strain C57 BL/6Cr S1c, C3H/He S1c, A/J dan Ba1b/c sebagai hewan coba. Toksoid difteri diimunisasikan kepada mencit, kemudian dilakukan fusi dari sel-sel limfa terhadap sel mieloma (X63­Ag8.6.5.3) dengan bantuan PEG 4000. Sumur biakan sel hibrid diperiksa dengan ELISA. Sel hibrid yang monoklon diperoleh dengan cara kloning dan rekloning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mencit strain C57 B1/6Cr S1c dan C3 H/He S1c tidak responsif terhadap toksoid difteri. Dengan strain Balb/c dan A/J dapat diproduksi sel hibrid monoklon yang positifterhadap toksoid difteri. Strain A/J memberikan hasil lebih baik dibandingkan Balb/c. Yaitu 15,7% sel hibrid positif dibandingkan dengan 2,5% pada strain Ba1b/c. Produksi cairan ascites sedang dikerjakan untuk memperoleh antibodi yang mono-klon. Selanjutnya dapat dibandingkan kualitas dan kuantitasnya.
Vaksin adalah suatu obat yang diberikan untuk membantu mencegah suatu penyakit. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak. Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.
GEJALA PENYAKIT :
Setelah terinfeksi bacteri ini 1-4 hari gejala mulai timbul. Diawali dengan myeri tenggorokan yang ringan dan nyeri ketika menelan. selanjutnya si penderita (anak) mengalami demam ringan,denyut jantung cepat,di sertai muntah,menggigil dan sakit kepala.
Hal ini mungkin di karenakan telah terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di leher. Jika bacteri menyerang sampai ke hidung,hidung akan mengalami rhinorhea (meler) biasanya hanya satu dari sakah satu lubang hidungnya.Peradangan ini bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan tenggorokan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bacteri dapat membentuk suatu pseudomembran ( lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati dan bahan lainya ) di dekat amandel dan pada bagian tenggorokan yang lain.
Pseudomembran ini tidak mudah pecah,robek dan berwarna abu-abu.Pseudomembran jika di lepaskan secara paksa,maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah atau terluka.
Pseudomembran dapat menyebabkan penyempitan saluran udara dan menyumbat saluran udara sehingga penderita difteri mengalami apneu ( sesak napas ) dan kulit terlihat pucat dan berwarna biru hal ini di akibatkan pasokan oksigen dalam tubuh kurang.Pada hari ke 10-14,bacteri difteri melepaskan toksin melalui peredaran darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh termasuk saraf dan jantung,sehingga Badan terasa lemah tidak bisa di gerakkan ( terutama lengan dan tungkai ),denyut jantung cepat, ,kesulitan menelan pada tenggorokan ( toksin menyerang saraf tenggorokan )akan tetapi hal ini bisa berlangsung dari minggu pertama hingga ke 6.
KOMPLIKASI :
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung,ginjal,system saraf ataupun organ lainnya :
1. Myokarditis (peradangan dinding otot jantung ) bisa menyebabkan gagal jantung.
2. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi
3. Dapat menyebabkan kelumpuhan jika terjadi kerusakan saraf yang berat
4. Kerusakan ginjal.
DIAGNOSIS :
Pengujian secara fisik boleh mengungkapkan karakteristik selaput ( pseudomembrane) di (dalam) kerongkongan, memperbesar kelenjar getah bening, dan bengkak menyangkut pangkal tenggorokan atau leher. Jika dipteri dicurigai, perawatan harus dimulai dengan seketika,
Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:
· gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi Corynebacterium diphtheriae.
· Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat di lakuka dengan electrocardiogram (ECG).
PENGOBATAN ( TREATMENT ) :
Pengobatan terhadap pasien dipteri.dapat menggunakan obat Penolak dipteri (antitoksin corynebacterium ) bisa diberi sebagai suatu intramuscular atau suntikan kedalam pembuluh darah secepat hasil diagnosa dicurigai. Infeksi/Peradangan kemudian adalah bermufakat dengan zat pembunuh kuman, seperti penisilin atau erythromycin.
Orang-Orang dengan dipteri boleh memerlukan opname untuk perawatan yang yang mendukung dan sepanjang administrasi penolak bisa. Penyisipan dari suatu endotracheal tabung dan/atau kepindahan menyangkut selaput halangan mungkin (adalah) diperlukan jika trayek udara penghalang ada. Cairan kedalam pembuluh darah, oksigen, tempat tidur/alas istirahat, dan berhubungan dengan jantung yang monitoring ( dalam kaitan dengan kemungkinan myocarditis) pada umumnya ditandai.Suntikan serum tambahan atau Pengebalan/Imuniasi untuk semua kontak menyangkut orang yang terkena infeksi/tersebar, mencakup pelayanan kesehatan personil, harus diberi. Individu menemukan untuk;menjadi pengangkut dipteri diperlakukan dengan zat pembunuh kuman juga.
Imunitas bersifat melindungi bertahan/berlangsung hanya 10 tahun dari waktu vaksinasi, maka adalah penting bagi orang dewasa untuk mendapat/kan suatu pendorong tetanus-diphtheria ( Td) vaksin tiap-tiap 10 tahun.HARAPAN :
Angka kematian adalah 10%. Kesembuhan dari penyakit lambat; oleh karena itu, aktivitas harus dilanjutkan pelan-pelan.dan anak harus banyak istirahat tidak boleh banyak gerak karena bisa melukai jantung yang meradang.

PENCEGAHAN :
Dalam pencegahan difteri ini dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi rutin pada anak-anak (DPT) dan Booster setelah dewasa (DT).Dan semua orang yang berhubungan dengan penderita difteri termasuk perawat atau pegawai rumah sakit harus menjalani apus tenggorokan.Dan di berikan antibiotic selama 7 hari.
Jika belum pernah mendapatkan vaksinasi atau belum mendapatkan booster dalam 5 tahun terakhir, maka diberikan dosis vaksinasi atau dosis booster.Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakan ulang pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster setiap 10 tahun.

Vaksin DT adalah vaksin yang mengandung toksoid Difteri dan Tetanus yang telah dimurnikan yang teradsorbsi ke dalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Potensi komponen vaksin per dosis sedikitnya 30 IU (International Unit) untuk potensi toksoid Difteri dan sedikitnya 40 IU untuk potensi toksoid Tetanus.

Indikasi
Untuk Imunisasi secara simultan terhadap difteri dan tetanus
Komposisi
Tiap ml mengandung : Toksoid difteri yang dimurnikan 40 Lf.Toksoid tetanus yang dimurnikan 15 Lf.Aluminium fosfat 3 mgThimerosal 0,1 mg

Dosis dan Cara Pemberian
Vaksin harus dikocok dulu sebelum digunakan untuk menghomogenkan suspensi. Vaksin harus disuntikkan secara intramuskuler atau subkutan yang dalam. Jarum suntik dan syringe yang steril harus digunakan pada setiap penyuntikkan. Vaksin DT dianjurkan untuk anak usia di bawah 8 tahun. Untuk individu usia 8 tahun atau lebih dianjurkan imunisasi dengan vaksin jerap Td.
Vaksin DT lebih dianjurkan untuk diberikan pada usia anak-anak daripada vaksin DTP jika terjadi kontraindikasi terhadap komponen pertussis. Untuk anak-anak sedikitnya 3 kali penyuntikan secara intramuskuler dengan dosis 0,5 ml dengan interval 4 minggu. Vaksin DT dapat diberikan secara bersamaan dengan vaksin BCG, Campak, Rubella, Mumps, Polio (OPV dan IPV), Hepatitis B, Hib. dan Yellow Fever.

Vaksin DTP Deskripsi
DPT
Merupakan vbaksin untuk penyakit difteri, peruses dan tetanus, diberikan sebanyak 6 kali yaitu pada saat si kecil berusia 2,4, 6, 18 bulan serta 5 dan 12 tahun.

Vaksin Jerap DTP adalah vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan tetanus yang dimurnikan, serta bakteri pertusis yang telah diinaktivasi yang teradsorbsi ke dalam 3 mg / ml Aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Potensi vaksin per dosis tunggal sedikitnya 4 IU pertussis, 30 IU difteri dan 60 IU tetanus.

Indikasi
Untuk Imunisasi secara simultan terhadap difteri, tetanus dan batuk rejan.

Komposisi
Tiap ml mengandung : Toksoid difteri yang dimurnikan 40 LfToksoid tetanus yang dimurnikan 15 LfB, pertussis yang diinaktivasi 24 OUAluminium fosfat 3 mgThimerosal 0,1 mg



Dosis dan Cara Pemberian
Vaksin harus dikocok dulu untuk menghomogenkan suspensi. Vaksin harus disuntikkan secara intramuskuler atau secara subkutan yang dalam. Bagian anterolateral paha atas merupakan bagian yang direkomendasikan untuk tempat penyuntikkan. (Penyuntikan di bagian pantat pada anak-anak tidak direkomendasikan karena dapat mencederai syaraf pinggul). Tidak boleh disuntikkan pada kulit karena dapat menimbulkan reaksi lokal. Satu dosis adalah 0,5 ml. Pada setiap penyuntikan harus digunakan jarum suntik dan syringe yang steril. Di negara-negara dimana pertussis merupakan ancaman bagi bayi muda, imunisasi DTP harus dimulai sesegera mungkin dengan dosis pertama diberikan pada usia 6 minggu dan 2 dosis berikutnya diberikan dengan interval masing-masing 4 minggu. Vaksin DTP dapat diberikan secara aman dan efektif pada waktu yang bersamaan dengan vaksinasi BCG, Campak, Polio (OPV dan IPV), Hepatitis B, Hib. dan vaksin Yellow Fever.

Efek Samping
Terjadinya gejala-gejala yang bersifat sementara seperti lemas, demam, kemerahan pada tempat suntikan. Kadang-kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi, iritabilitas, dan meracau yang biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi. Menurut dugaan komplikasi neurologis yang disebabkan oleh komponen pertusis sangat jarang terjadi, observasi yang telah dilakukan menunjukkan gejala ini jarang terjadi jika dibandingkan dengan gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh imunisasi DTP.

Kontraindikasi
Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan suntikan pertama DTP. Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala-gejala serius keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi dari komponen pertussis. Imunisasi DTP kedua tidak boleh diberikan kepada anak yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis pertama DTP. Komponen pertussis harus dihindarkan, dan hanya dengan diberi DT untuk meneruskan imunisasi ini. Untuk individu penderita virus human immunodefficiency (HIV) baik dengan gejala maupun tanpa gejala harus diberi imunisasi DTP sesuai dengan standar jadual tertentu.

Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. BCG ulangan tidak dianjurkan karena keberhasilannya diragukan.
Vaksin disuntikkan secara intrakutan pada lengan atas, untuk bayi berumur kurang dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,05 mL dan untuk anak berumur lebih dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,1 mL.
Vaksin ini mengandung bakteri Bacillus Calmette-Guerrin hidup yang dilemahkan, sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/dosis. Kontraindikasi untuk vaksinasi BCG adalah penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita leukemia, penderita yang menjalani pengobatan steroid jangka panjang, penderita infeksi HIV).
Reaksi yang mungkin terjadi:
1. Reaksi lokal : 1-2 minggu setelah penyuntikan, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan dan benjolan kecil yang teraba keras. Kemudian benjolan ini berubah menjadi pustula (gelembung berisi nanah), lalu pecah dan membentuk luka terbuka (ulkus). Luka ini akhirnya sembuh secara spontan dalam waktu 8-12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut.
2. Reaksi regional : pembesaran kelenjar getah bening ketiak atau leher, tanpa disertai nyeri tekan maupun demam, yang akan menghilang dalam waktu 3-6 bulan.

Komplikasi yang mungkin timbul adalah :
· Pembentukan abses (penimbunan nanah) di tempat penyuntikan karena penyuntikan yang terlalu dalam. Abses ini akan menghilang secara spontan. Untuk mempercepat penyembuhan, bila abses telah matang, sebaiknya dilakukan aspirasi (pengisapan abses dengan menggunakan jarum) dan bukan disayat.
· Limfadenitis supurativa, terjadi jika penyuntikan dilakukan terlalu dalam atau dosisnya terlalu tinggi. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 2-6 bulan.

Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang berumur kurang dari 7 tahun. Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha.
Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT.
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster vaksin Td pada usia 14-16 tahun kemudian setiap 10 tahun (karena vaksin hanya memberikan perlindungan selama 10 tahun, setelah 10 tahun perlu diberikan booster).Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memperoleh perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.

DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin.
Pada kurang dari 1% penyuntikan, DTP menyebabkan komplikasi berikut:
- demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius) kejang
- kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya)
- syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).

Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat.
Jika anak pernah mengalami kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.
1-2 hari setelah mendapatkan suntikan DPT, mungkin akan terjadi demam ringan, nyeri, kemerahan atau pembengkakan di tempat penyuntikan. Untuk mengatasi nyeri dan menurunkan demam, bisa diberikan asetaminofen (atau ibuprofen).
Untuk mengurangi nyeri di tempat penyuntikan juga bisa dilakukan kompres hangat atau lebih sering menggerak-gerakkan lengan maupun tungkai yang bersangkutan.

Imunisasi DT
Imunisasi DT memberikan kekebalan aktif terhadap toksin yang dihasilkan oleh kuman penyebab difteri dan tetanus. Vaksin DT dibuat untuk keperluan khusus, misalnya pada anak yang tidak boleh atau tidak perlu menerima imunisasi pertusis, tetapi masih perlu menerima imunisasi difteri dan tetanus.

Cara pemberian iminisasi dar dan ulangan sama dengan imunisasi DPT.
Vaksini disuntikkan pada otot lengan atau paha sebanyak 0,5 ml.
Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada anak yhang sedang sakit berat atau menderita demam tinggi.
Feke samping yang mungkin terjadi adalah demam ringan dan pembengkakan lokal di tempat penyuntikkan yang biasanya berlangsung selama 1-2 hari.



























BAB III
PRNUTUP


v Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri pennghasil toksin yaitu corynebacterium dephtheriae. Beberapa tahun yang lalu difteri merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kemdatian pada anak-anal. Penyuakit ini menyerang saluran pernapasan (terutama laring, tenggorokan, dan amandel), tapi bisa juga menyerang skulit dan toksin yang dihasilkan corynebacterium diphtheriae bias menyuebabkan kerusakan pada saraf dan jantung.
Patogenesis
Basil akian berkembang pada saluran nafas bagian atas. Basil ini juga dapat berkembang pada daerah kulit, vulva dan telinga. Basil ini akan membentuk pseudromembran dan melepaskan eksotoksin dalam tubuh.
v Saran
Untuk mencegah terjadinya wabah penyakit difteri sebaiknya mengikuti imunisasi rutin sejak dini dan selengkapnya











DAFTAR PUSTAKA


- PELCZAR dan CHAN. 2005. Dasar-Dasar mikrobiologi, Jakarta : Universitas Indonesia Press.
- Arif Manyoer, Suprohaita, Wahyu ika Wardhani Wiwiek Setiowaulan 2000, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid II. Jakarta : Medan Aesculapius. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- Aru W. Sudoyo, Bambang setiyophadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati, 2006. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyaklit Dalam Fakultas Universitas Indonesia.
- www.health.vic.gov.au
- www.libtang.dpekes.go.id
- www.idionline.org
- www.cehs.siu.edu
- www.emidicine.com


MAKALAH
TOKSIN PADA CORYNEBACTERIUM DIPHTHERIAE



















Oleh :
STEVE KAWARANG








ATA PENGANTAR


Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya yang dilimpahkan saya bisa menyusun makalah ini yang berjudul Toksin Pada Corynebacterium Diphtheria.
Makalah ini disusun dalam upaya memenuhi8 salah satu kewajiban sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Keperawatan semester III Stikes Surya Global Yogyakarta khususnya mata kuliah Mikrobiologi.
Makalah ini jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan waktu, kemampuan, pengetahuan dan pengalaman. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritikan yang konstruktif dari berbagai pihak dalam upaya penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan pembaca khususnya. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan.



Yogyakarta, 20 Desember 2008


Penulis








DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1. Latar Belakang................................................................................ 1
2. Tujuan............................................................................................. 2
3. Rumusan Masalah........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................
1. ISI.................................................................................................. 3
BAB III PENUTUP............................................................................................ 3
1. Kesimpulan..................................................................................... 16
2. Saran.............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 17

Tidak ada komentar: